Kamis, 08 Juli 2010

Jalan Lurus


Road to “SANGKAN PARANING DUMADI”



“Kenapa Tuhan menunjukkan masa lalu kepada kita melalui bintang-bintang-Nya di angkasa?”

Pertanyaan tsb bukanlah pertanyaan yang muncul dari dalam diri saya. Pertanyaan tsb adalah pertanyaan yang dilontarkan teman saya ketika kami berdua berjalan kaki menjelajahi pekat, senyap dan dinginnya malam hanya untuk menuntaskan ambisi menginjakkan kaki di puncak tertinggi pegunungan kota Malang. Jujur saja saya “terpesona” dengan pertanyaan tsb karena selama ini sepertinya saya hanya terpaku pada pijar cahaya bintang di tengah pekatnya malam, tanpa pernah melintas dalam benak saya asal waktu cahaya bintang itu. Ya … cahaya bintang yang kita lihat pada suatu waktu bukanlah cahaya yang dipancarkan sang bintang pada saat kita memandangnya. Kalau dalam istilah penyiaran mungkin bisa kita katakan kalau cahaya bintang tsb hanyalah merupakan “siaran tunda”. Lalu seberapa lama selang waktu antara “penyiaran” dan “penerimaan” cahaya bintang tsb? Alpha Centauri, gugus bintang yang memiliki jarak 4,4 tahun cahaya dengan sistem tata surya kita merupakan gugus bintang yang paling dekat dengan bumi. Jadi cahaya yang dipancarkan oleh Alpha Centauri akan kita lihat dari bumi kita ini sekitar 4,4 tahun kemudian.

Mari kembali ke pertanyaan teman saya, “Kenapa Tuhan menunjukkan masa lalu kepada kita melalui bintang-bintang-Nya di angkasa?”

Saat ini saya ingin menjawab pertanyaan tsb untuk diri saya sendiri dan apa yang akan saya tuliskan di sini semata-mata pendapat saya pribadi yang tentu saja sangat bersifat subyektif dan cacat logika.

Dari, oleh dan untuk saya pribadi, saya anggap kalau penampakan bintang di langit (beserta segala keterlambatan pancaran cahayanya) merupakan “jalan menuju Tuhan”. Tentu saja langit yang begitu luas beserta segala bintang di dalamnya menunjukkan ke-Maha-an Tuhan sebagai Sang Pencipta, tetapi bukan sekedar ke-Maha Pencipta-an Tuhan yang saya maksud saat ini. Kalau “hanya” sekedar merenungi Tuhan sebagai Sang Maha Pencipta maka kita tidak usah repot-repot melihat bintang di langit, tetapi cukup dengan melihat jari tangan kita saja maka kita akan tahu betapa hebatnya Tuhan sebagai pencipta.

Yang saya maksud dengan “jalan menuju Tuhan” disini merujuk pada dua posisi Tuhan, yaitu Tuhan sebagai asal, Sang Pencipta, dan sekaligus sebagai tujuan, Sang Pemilik. Jadi, penampakan bintang di langit akan bisa mengajak kita untuk melihat ke “belakang” menuju (titik) “awal” kita dan juga sekaligus melihat ke “depan” menuju “pintu tujuan” kita … dan itulah yang saya maksud dengan “sangkan paraning dumadi”. Apa itu “sangkan paraning dumadi”?


SANGKAN PARANING DUMADI

Maaf … penggunaan “sangkan paraning dumadi” tidak saya maksudkan untuk ke-suku-an. Mungkin rekan-rekan dari (suku) Jawa sudah akrab dengan istilah tsb. “Sangkan paraning dumadi” secara simpelnya adalah “(tempat) berasal dan kembalinya segala makhluk” alias “the origin and the destination of all creatures“.

Ya…“sangkan paraning dumadi” merupakan rangkaian kata yang digunakan oleh sesepuh Jawa untuk merujuk pada sosok Tuhan sebagai pencipta (a.k.a asal) dan pemilik (a.k.a tujuan) segala makhluk-Nya. Maaf…dengan segala keterbatasan dan kelancangan saya, saya menganggap kalau “sangkan paraning dumadi” tsb sebenarnya memiliki konsep dan makna yang sama dengan “innalillahi wa inna ilaihi roji’un” dalam agama Islam (maaf saya juga tidak bermaksud untuk ke-agama-an). “Innalillahi wa inna ilaihi roji’un” (juga) berarti sesungguhnya segala makhluk itu milik Allah dan akan kembali kepada Allah.


ANTARA BINTANG dan SANGKAN PARANING DUMADI

Lalu apakah hubungan antara bintang di angkasa dengan “sangkan paraning dumadi”? Begini… Seperti di awal sudah saya sebutkan bahwa cahaya bintang yang kita lihat saat ini sebenarnya berasal dari masa lalu. Masa lalu … itu kuncinya : Jika kita merunut masa lalu maka pada ujungnya kita akan menuju suatu hulu yang bernama awal … suatu penciptaan. Jadi dalam hal ini bintang merupakan simbol dari “sangkan” alias awal… (maaf, bukan berarti saya menganggap Tuhan=bintang).

Dimana posisi “paran”? Ah.. terkesan agak memaksakan mungkin, tetapi bagi rekan-rekan yang sudah membaca tulisan saya yang ini maka mungkin bisa memahami apa arti langit bagi saya. Bagi saya (seperti tersirat di tulisan saya tersebut), langit menunjukkan suatu kondisi serba ideal yang ingin saya capai. Jadi bagi saya langit merupakan “paran” langit merupakan tujuan yang ingin saya capai.

Sudah…itu saja, pokoknya bagi saya bintang sebagai simbol “sangkan” yang berada di tengah luasnya langit sebagai suatu “paran” merupakan perpaduan yang menciptakan “jalan menuju Tuhan”.

Tulisan ini lahir dengan susah payah … melawan segala rasa malas dan lemas. Tulisan ini lahir atas paksaan diri sendiri untuk kembali menuliskan ini.
Jadi ya begini akibatnya … isi dan juga ending tulisan yang terasa menggantung, hambar dan samar …
Maaf ya … karena semua karena keterbatasan saya sebagai manusia.
Ditulis dalam antara MATEMATIKA atau KEHIDUPAN...hehehe…

SALAM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar